RESIMEN MAHASISWA

Thursday, December 22, 2005

Pertahanan Nirmiliter

Berikut ini adalah artikel dari Bapak Makmur Keliat, Direktur Eksekutif Center for East Asian Cooperation Studies (CEACoS), Universitas Indonesia. Artikel ini di sampaikan beliau pada Seminar Strategi Pertahanan Nasional "Revitalisasi Peran Perguruan Tinggi Dalam Strategi Pertahanan Negara", yang di selenggarakan Pada Sabtu, 17 Desember 2005, oleh Menwa UGM di Yogyakarta. Artikel ini kemudian dimuat di Harian Kompas edisi Rabu, 21 Desember 2005.
Pertahanan Nirmiliter
Makmur Keliat
Mengapa kita perlu menyebarluaskan gagasan pertahanan nirmiliter? Bukankah seharusnya pertahanan itu urusan tentara saja? Selain argumentasi legalistis-formal dengan merujuk UUD RI 1945 (Pasal 30 Ayat 2) dan Undang-Undang Pertahanan Negara (Pasal 8 Ayat 2), seperti diungkapkan Juwono Sudarsono (Kompas, 20/9/2005), mungkin perlu dicari argumen lain. Globalisasi telah mengakibatkan negara bukan hanya satu-satunya aktor yang memiliki jaringan (network) dan melakukan pertukaran atau transaksi lintasnasional, tetapi juga komunitas, lembaga-lembaga internasional, organisasi nonpemerintah (NGO), dan perusahaan multinasional. Selain aktor yang kian beragam, globalisasi juga mengakibatkan kerumitan dalam pengorganisasian ruang dan wilayah. Dampak globalisasi Globalisasi mengakibatkan batas-batas apa yang disebut isu lokal, nasional, dan internasional menjadi kabur. Karena kemajuan pesat teknologi komunikasi, isu lokal dapat cepat ditransformasikan menjadi isu nasional dan internasional. Sebaliknya, isu internasional cepat masuk ke ruang-ruang yang selama ini dikategorikan nasional dan lokal. Meski perang AS-Irak, misalnya, jauh dari Indonesia, tetapi gaung politiknya masuk ke dalam negeri. Demikian juga aksi teroris di Bali berdampak politik skala nasional dan nasional. Ada tiga dampak dari proses globalisasi terhadap kehidupan manusia dan pembuatan kebijakan. Pertama, pada tataran identitas dan loyalitas. Negara nasional, meminjam pemikiran David Held dkk (1999), kini bukan lagi satu-satunya institusi bagi manusia untuk menunjukkan identitas dan loyalitasnya, tetapi telah disaingi berbagai jaringan yang dapat berskala lokal, nasional, regional, dan sekaligus lintasnasional. Meski demikian, pada saat yang sama alternatif terhadap negara sebagai institusi politik tampaknya belum menjadi sesuatu yang feasible. Gerakan separatis, sebagai produk puncak dari menguatnya otoritas lokal, sebagai misal, bukan penolakan terhadap negara, merupakan refleksi kerinduan terhadap negara. Karena itu, fungsi keamanan negara (security function of state) tampaknya tidak pernah dapat dihilangkan sepanjang negara itu ada. Menurut TV Paul (2003) hanya dua negara, yaitu Panama dan Haiti, yang telah menghilangkan kekuatan militernya dan menganut model Kosta Rika setelah berakhirnya Perang Dingin. Namun, harus pula dicatat, penghilangan kekuatan militer tidak serta-merta menjamin fungsi kesejahteraan negara (welfare function of state) jadi lebih baik. Laporan Bank Dunia (2004), misalnya, menyebutkan, untuk 2001-2002 Panama mengalami pertumbuhan GDP negatif (-0,7 persen), begitu juga Haiti (-2,7 persen), dan Kosta Rika tumbuh positif sekitar satu persen. Kedua, derajat ketidakpastian yang kian besar. Ketidakpastian itu, meminjam pemikiran Anthony Giddens (1998), sebagai ketidakpastian yang dibuat oleh manusia sendiri (manufactured uncertainty). Globalisasi telah menghasilkan transformasi besar. Ironisnya, transformasi yang telah dibuat manusia amat sulit dikendalikan. Proses globalisasi, sebagai akibat kemajuan teknologi sebagai misal, mengakibatkan batas-batas negara dari menit ke menit menjadi amat terbuka terhadap penetrasi pihak luar dan otonomi negara untuk menentukan jalan hidupnya amat berkurang. Akibatnya, ada ruang abu-abu amat besar antara isu ekonomi, politik, dan keamanan. Sebagai misal, hancurnya arsitektur moneter dan finansial internasional sejak 1970-an memberi peran besar terjadinya krisis keuangan di Asia Tenggara tahun 1997, disusul kerusuhan sosial di beberapa tempat di Indonesia. Ketiga, pendefinisian tentang ancaman menjadi amat lentur. Jika pandangan top down digunakan, ada alasan menjadi optimis untuk melihat masa depan. Tidak pernah berlangsung perang besar (major war) antar-aktor adikuasa (great power) selama 50 tahun terakhir. Konklusinya, statecraft masih penting. Negara berdaulat masih akan merupakan aktor penting dalam perpolitikan dunia, khususnya dalam pengaturan kekerasan, pembangunan hukum, dan dalam manajemen hubungan eksternal. Namun, seperti diungkap Ken Booth (1998), jika pandangan bottom up yang digunakan, berarti menggunakan perspektif dari kelompok miskin (the poor), optimisme itu tampaknya tidak memiliki landasan kuat. Gambaran masa depan akan amat berbeda karena kelompok miskin masih merupakan mayoritas terbesar dari manusia yang hidup dalam lima puluh tahun terakhir dan kemungkinan akan tetap bersama kita di masa depan. Tampaknya, perspektif dari kelompok miskin perlu lebih diperhatikan di masa depan karena aneka ketimpangan pada tataran masyarakat itu dapat dengan dengan mudah ditransformasikan menjadi sumber-sumber kerawanan untuk tidak percaya kepada negara. Akibatnya, pendefinisian tentang ancaman bukan hanya berkaitan urusan statecraft atau penghindaran perang militer, tetapi telah menjadi amat luas. Itu sebabnya, kita kini mengenal istilah-istilah perang ekonomi, perang intelijen, maupun perang melawan kemiskinan. Barangkali itu pula sebabnya, Joseph J Romm (1993), pakar keamanan nasional di AS, suatu saat mendefinisikan ancaman dalam kalimat yang amat luas, ”segala hal yang dapat menyempitkan pilihan-pilihan kebijakan yang tersedia bagi pemerintah”. Dua prasyarat Jika kita bertolak dari batasan definisi semacam ini, upaya pengurangan ancaman berarti sama dengan upaya memperluas pilihan kebijakan bagi pemerintah. Jika kita percaya dengan ungkapan ini, ada kebutuhan amat mendesak bagi pemerintah untuk memperluas pilihan kebijakan dalam era globalisasi. Upaya untuk memperluas pilihan kebijakan hanya dapat dilakukan jika para pembuat kebijakan dapat melakukan kerja sama dengan pihak luar, terutama dengan universitas dan kalangan akademisi. Pengalaman AS dalam masa Perang Dunia II mungkin dapat dijadikan rujukan guna menciptakan kerja sama itu. Melalui pembentukan lembaga khusus, yang disebut Office of Scientific Research and Development (OSRD) tahun 1941, kekuatan militer AS dan sekutunya, disebutkan Maxine Singer (2001), telah memberi kontribusi yang signifikan bagi kemenangan pihak sekutu dalam Perang Dunia II melalui berbagi penelitian dan temuannya, seperti radar, bom atom, dan obat-obatan. Menarik mencatat anggaran penelitian dan pengembangan tentara AS saat itu, amat minim, yaitu sekitar 0,6 persen dari seluruh anggaran pertahanan negeri itu. Namun, menurut Singer, ada dua prasyarat yang harus dipenuhi untuk mengembangkan kerja sama itu. Pertama, penelitian dan temuan yang dilakukan ilmuwan bukan ditujukan untuk mengambil alih tanggung jawab tentara dalam masalah teknis peperangan. Hal ini disebabkan selalu ada kekhawatiran dari kalangan militer terhadap intervensi sipil dalam masalah internal tentara. Sebagai misal, ada perjuangan yang panjang dari ORSD untuk meyakinkan Angkatan Laut AS agar menggunakan pesawat udara yang dilengkapi radar guna menghadapi kapal selam Jerman. Kedua, militer dan kalangan komunitas akademis mau dan mampu mencari jalan tengah dari hakikat dan watak kehidupannya yang amat berbeda. Karena, menangani soal-soal keamanan nasional, seluruh aktor yang terlibat di dalamnya, baik tentara, polisi, maupun intelijen, biasanya amat hirau dengan masalah kerahasiaan. Sebaliknya, kalangan akademisi justru amat hirau dengan persoalan publikasi karena kualitas temuan dan gagasannya akan kian memperoleh reputasi yang kian tinggi jika ada ruang untuk dikritisi. Dua prasyarat itulah yang tampaknya menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mewujudkan konsep pertahanan nirmiliter itu di masa depan.
MAKMUR KELIAT Direktur Eksekutif Center for East Asian Cooperation Studies (CEACoS), Universitas Indonesia
Untuk versi online artikel ini bisa di klik di http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/21/opini/2305386.htm
Semoga bermanfaat

0 Comments:

Post a Comment

<< Home